News DeltaPawan – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, memastikan bahwa penerapan tarif impor sebesar 32 persen oleh Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia ditunda selama proses negosiasi berlangsung. Ia juga menepis isu tambahan tarif 10 persen karena Indonesia tergabung dalam BRICS.
“Tambahan tarif karena BRICS itu tidak ada. Dan tarif 32 persen kita sebut dalam posisi pause, artinya ditunda hingga negosiasi selesai,” jelas Airlangga saat mendampingi Presiden Prabowo Subianto di Brussel, Minggu (13/7/2025).
Sebelumnya, Airlangga memimpin delegasi RI dalam pertemuan dengan Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick dan Perwakilan Dagang Jamieson Greer di Washington D.C. Ia menyebut hasil pertemuan telah masuk tahap finalisasi yang ditarget rampung dalam tiga pekan ke depan.
Meski Presiden AS Donald Trump sebelumnya menyatakan tarif berlaku 1 Agustus 2025, namun pemerintah Indonesia berhasil menegosiasikan penundaan sambil menyelesaikan perundingan dagang.
Pengamat: AS Minta RI Bangun Pabrik, Tak Rasional
Dari Jakarta, pengamat pasar modal Hans Kwee menilai permintaan AS agar Indonesia membangun pabrik di sana tergolong tidak realistis. Pasalnya, biaya tenaga kerja dan bahan baku di AS jauh lebih mahal.
“Investasi langsung ke AS justru bertentangan dengan logika umum. Negara maju biasanya yang masuk ke negara berkembang, bukan sebaliknya,” ujar dosen FEB Trisakti ini.
Ia menyebut kontribusi ekspor Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sekitar 20 persen, dan ekspor ke AS hanya 10 persen dari total ekspor. Artinya, jika diterapkan, dampak tarif terhadap PDB RI sekitar 2 persen. Namun tetap berisiko tinggi bagi sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik..
“Risiko PHK massal dan pelemahan rupiah menjadi ancaman nyata jika tarif diberlakukan penuh,” imbuhnya.
Baca Juga : Sutarmidji Minta Pemprov Kalbar Transparan Soal Status Pulau Pengikik, Singgung BA Batas Kalbar-Kepri 2014
Uni Eropa Jadi Fokus Baru RI
Airlangga menyebut Uni Eropa sebagai mitra dagang strategis yang lebih menjanjikan dibandingkan AS. Saat ini Indonesia dan Uni Eropa sedang menyelesaikan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).
Nilai perdagangan Indonesia-Uni Eropa pada 2024 mencapai USD 30,1 miliar, dengan surplus bagi Indonesia sebesar USD 4,5 miliar. Komoditas utama yang diekspor RI ke Eropa antara lain: minyak sawit, bijih tembaga, produk karet, dan alas kaki.
“Potensi ekspor kita ke Uni Eropa jauh lebih besar. Impor UE mencapai USD 6,6 triliun, dua kali lipat dibanding AS,” jelas Menteri Perdagangan Budi Santoso.
Studi CSIS dan Komisi Eropa menyebut perjanjian IEU-CEPA berpotensi menambah PDB Indonesia hingga USD 2,8 miliar. Serta menaikkan ekspor hingga 57 persen dalam tiga tahun mendatang.